PERBEDAAN MEMPERKAYA KHASANAH BUDAYA INDONESIA[1]
Oleh:
Risna Afriani (12406241002)
Pendidikan
Sejarah, FIS, UNY
Slogan
Kebhinekaan dan Pengertian Budaya
Indonesia
yang disebut negara multukultural mememiliki keanekaragaman dalam masyarakatnya. Multikulturalisme memiliki definisi sebagai sebuah kepercayaan yang
menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) dapat hidup berdampingan secara damai
dalam prinsip co-existence yang
ditandai oleh kesedian untuk menghormati budaya lain (Daniel T.
Sparringa,2003). Terdapat banyak keanekaragaman di dalam
masyarakat Indonesia mulai dari, suku,
adat istiadat, rumah adat, bahasa, makanan, kepercayaan, dan masih banyak lagi.
Perbedaan umumnya menjadi suatu
kendala dalam berbangsa, namun lain
halnya di Indonesia, di Indonesia perbedaan yang ada ini di anggap sebagai
sebuah anugerah dari Tuhan yang wajib di syukuri. Dengan adanya perbedaan etnik
dalam masyarakat Indonesia menambah keragaman budaya, keanekaragaman yang tersebar
hampir di seluruh pulau-pulau di Indonesia juga memperkaya khasnah budaya yang
ada.
Keanekaragaman
sebagai sebuah perbedaan menimbulkan sebuah sekat-sekat keterpisahan, di
Indonesia keanekaragaman mampu dipersatukan dengan slogan “Bhineka Tunggal Ika”
. Bhinneka Tugal Ika sebagai slogan
pemersatu bangsa hendaknya mampu menjadi semangat untuk bekerjasama membangun
kebersamaan, serta tekad dan upaya untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Keanekaragaman dalam kebinnekaan yang ada akan membentuk sebuah budaya, budaya
kebersamaan dalam roh ke Indonesiaan. Simak kutipan di bawah yang merupakan pengertian Budaya:
Budaya adalah sebuah sistem yang
mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku,
mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat
dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan masyarakat. Sistem
simbol dan epistemologis juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa
stratifikasi, gaya hidup, sisialisasi, agama, mobilitas sosial organisasi
kenegaraan, dan seluruh perilaku sosial. Dengan demikian juga budaya material
yang berupa bangunan, peralatan, dan persenjataan tidak dapat dilepas dari
seluruh konfigurasi budaya[2].
Terjadi kebinekaan
dalam pengertian budaya, dua orang antropolog Kroeber dan Kluckhohn berhasil
memetakan kebhinekaan pengertian dalam budaya melalui pokok pemahaman tentang
budaya. Salah satu definisi budaya yang mereka kemukakan mengacu pada aspek
historis, normatif dan psikologis. Definisi historis cenderung melihat budaya
sebagai warisan yang dialih-turunkan dari generasi ke generasi. Definisi
normatif bisa mengabil dua bentuk yang pertama, budaya adalah aturan atau jalan
hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan yang konkret, kedua,
menekankan peran gugus nilai tanpa mengaju pada perilaku. Definisi psikologis
cenderung memberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecahan masalah
yang membuat orang bisa berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan.
Persetuhan diharapkan
mampu menjadi pengikat seuatu perbedaan
dan dapat mengatasi timbulnya persoalan dalam kehidupan pluralistik
keindonesiaan. Slogan Bhinneka Tunggal Ika sebagai patokan formal yang lebih
tegas dan sebagai landasan yang cukup fundamental, sebagai pemersatu di atas
kenyataan perbedaan yang terjadi Indonesia yang berupa perbedaan geografi,
suku, sosial-budaya, politik, ideologi, agama dan masih banyak lagi.
Namun, dalam realitanya potensi multikultur yang sesungguhnya dapat
mengayakan perbendaharaan budaya kita justru dipaksa homogen, padahal dengan
Bhinneka Tuggal Ika pada lambang negara Garuda Pancasila tersebut scara
ideal-normatif berarti kehidupan keindonesian yang sangat plural sudah diatur
oleh suatu etik multukultur formal dalam rangka hidup bersama secara damai dan
saling asah-asih-asuh. Kini hal tersebut diperkuat lagi sebagaimana tertera
dalam pasal 32 (1) Undang-Udang Dasar 1945 yang telah diamandemen pada tahun
2003 silam: Negara memajukan kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya (I Gusti Ngurah Bagus, Universitas Udayana, 2003).
Konflik Etnik Akibat
Perbedaan dalam Masyarakat Indonesia
Tak
jarang adanya keanekaragaman menyebabkan terjadinya konflik di dalam masyrakat,
dalam ilmu antropologi biasa disebut dengan
Disosiatif. Disosiatif timbul dalam suatu interaksi di masyarakat yang
cenderung negatif, karena interaksi yang disosiatif ini dapat menyebakan adanya
konflik, persaingan, pertentangan, pransangka dan diskriminasi. Menurut Karl
Marx tiada yang abadi di dunia ini selain konflik, sejarah kehidupan manusia
dari zaman dulu sampai sekarang merupakan konflik antar golongan. Begitupun
konflik yang ada di Indonesia, Konflik antar etnik yang ada di Indonesia
memanglah sudah lumprah terjadi, mengingat Indonesia sendiri merupakan negara
yang beragam dalam masyarakatnya.
Antara
tahun 1997-2002 di indonesia pernah mengalami keterpurukan dalam sebuah krisi
multidimensi, saat itu banyak terjadi peristiwa kerusuhan di sebagian wilayah
indonesia, mulai dari kerusuhan yang terjadi di Jakarta (Mei 1998), konflik
antar suku Madura dan Dayak di Kalimatan (1999-2000), konflik antara penganut
agama di Poso dan Maluku (1999-2002)[3].
Kerusuhan masal di seantero Indonesia, melunturkan selogan “Bhinneka Tunggal Ika”
yang selama ini menjadi selogan pemersatu bangsa.
Bahkan di umur Indonesia yang menginjak
68 tahun setelah merdeka, masalah tentang perbedaan yang memiju konflik masih
sering terjadi. Indonesia sejauh ini masih rawan terjadi konflik, bahkan
konflik yang terjadi di tahun 2013 di perkirakan akan berlanjut hingga tahun
2014 mendatang. Karena, dalam pemecahan konflik yang ada pemerintah belum mampu
menyelesaikannya dengan tuntas. Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf Aljufri
mengatakan, permasalahan politik seperti pemekaran wilayah, kesetaraan,
pemilihan kepala daerah serta ketidakadilan hukum menjadi penyebab terjadinya
konflik saat ini (sindonew, 2 September 2013, 23:04 WIB)
Selain itu
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menyatakan, dalam tiga tahun
terakhir terjadi peningkatan eskalasi konflik sosial di tengah masyarakat.
Konflik terjadi akibat benturan dari berbagai kepentingan yang dilakukan antar
kelompok masyarakat. Tercatat pada tahun
2010 terjadi 93 peristiwa konflik. Sementara pada tahun 2011 terjadi 77
peristiwa dan 2012 terjadi 128 peristiwa. Di tahun 2013 hingga awal September,
Kemendagri mencatat telah 53 peristiwa konflik,
konflik yang terjadi dari tahun 2010 hingga September 2013 ada yang
bernuansa SARA, bentrokan warga dengan organisasi kemasyarakatan, aksi
kekerasan unjuk rasa menolak kenaikan BBM, bentrokan antar massa terkait
sengketa pertanahan, dan masih banyak lagi[4].
Melihat
berbagai konflik yang banyak terjadi di Indonesia akhirnya membuat kita
bertanya benarkah slogan kebhinnekaan sudah mampu menjadi alat pemersatu
bangsa? Selain itu apakah dengan adanya kemajemukan dalam masyarakat Indonesia
menjadi pemicu terjadinnya sebuah konflik?, hal itu sepertinnya belum dapat
kita jawab “ya” melihat masih banyak juga masyarakat yang berbeda etnik ataupun
berbeda dalam hal lainnya, masih dapat hidup berdampingan selaras dan damai.
Dari Sabang sampai Merauke, Berjajarnya pulau-pulau, Sambung menyambung
menjadi satu Itulah Indonesia, Indonesia tanah air ku, Aku berjanji pada mu, Menjunjung
tanah air ku tanah air ku Indonesia.
Ingatkah dengan lagu nasional kita di atas? Lagu itu memberikan semangat
kepada kita walaupun kita berbeda pulau namun tetap sambung menyambung menjadi
satu, menjadi satu dalam tanah air Indonesia. Mungkin lagu di atas mampu
memberi rasa kebanggaan tersendiri bagi kita sebagai mahluk Indonesia, sehingga
kita bisa menghormati segala perbedaan yang kita miliki dalam hidup
bermasyarakat, agar perbedaan itu tidak menjadi konflik-konflik pemecah
persatuan seperti yang terjadi di atas
Indahnya Perbedaan (Kehidupan di dalam Kelas
dan Pendidikan Multikultural)
Perbedaan memperkaya khasanah
budaya Indonesia, Indonesia semakin kaya akan budaya dengan adanya
keanekaragaman, yang memberi ciri khas tersendiri terhadap Indonesia dengan
masyarakatnya multikultural. Masyarakat multikultural dapat di lihat dalam kehidupan kampus, dikampus UNY
misalnya, terdapat mahasiswa dari berbagai pulau dan suku bangsa di Indonesia,
ada yang dari Ambon, Maluku, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Papua, dan masih
banyak lagi. Masyarakat dari berbagai wilayah ini memiliki keragaman suku
(etnis), perbedaan agama, juga budayanya, namun
mereka dapat hidup berdampingan selaras di dalam kampus UNY karena rasa
keindonesiaan yang mereka miliki.
Kahidupan di dalam kelas juga merupakan cerminan masyarakat
multikultural dalam lingkup yang lebih kecil. Didalam kelas Pendidikan Sejarah
A 2012 misalnnya, kelas ini mahasiswanya dari berbagai wilayah di Indonesia
dengan etnik yang berbeda, agama, serta logat (bahasa) mereka yang berbeda
pula. Perbedaan memang telah menjadi ciri khas dalam kehidupan bersama
sebangsa, perbedaan dari mahasiswa yang ada di kelas tadi malahan akan
menciptkan suasana kelas yang semakin
hidup. Sebagai arena belajar, kehidupan kelas di harapkan mampu mengembangkan
toleransi dan mau menerima orang lain (kelompok budaya), sehingga tujuan
menciptakan manusia yang dapat
menghargai perbedaan pun akan mudah terwujud.
Masyarakat multikultural Indonesia di harapkan mampu
menghargai perbedaan, menegakan nilai demokrasi, serta memiliki rasa kadilan
dan kemanusiaan. Namun, dalam mewujudkan harapan tadi perlu adanya persiapan
dalam menciptakan “Generasi multi” dengan melalui sebuah pendidikan, atau yang
biasa di sebut dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural ini
dirasa penting mengingat masih banyaknya konflik yang terjadi di antara etnik
di Indonesia, selain itu perbedaan dalam hal kepercayaan juga masih menjadi isu
kursial penyebab konflik-konflik di Indonesia.
Dalam upaya mengimplementasikan Pendidikan Multikultural di
dalam masyarakat Indonesia tentu ada tantangan tersendiri, tantangan dari
adanya perbedaan agama, suku bangsa dan tradisi yang di miliki masyarakat
multikultural Indonesia. Maka dari itu pendidikan multikultural haruslah
bersifat normatif, pendidikan multikultural yang bersifat normatif ini penting sebagai petunjuk tentang berbagai
kepentingan yang membimbing pada pengakuan yang lebih tinggi mengenai
kebangsaan dan identitas kelompok yang berbeda di dalam masyarakat.[5]
Akhir kata, bahwa keanekaragamaan yang di miliki Indonesia
merupakan sebuah anugerah dari Tuhan yang Maha esa, yang patut kita syukuri.
Jangan jadikan perbedaan sebagai pembatas kita untuk bersatu dalam berbangsa
dan bertanah air, dengan adanya perbedaan malahan akan memperkaya khasanah
budaya di Indonesia sendiri. Namun, tidak dapat di pungkiri jika perbedaan yang
ada sering kali menyebabkan sebuah konflik, tetapi kita perlu ingat bahwa kita
memili slogan “Bhinneka Tuggal Ika” walau beda tetap satu jua. Perlu di sadari
bahwa kita semakin terlihat indah dalam perbedaan itu, seperti halnya pelangi
di langit biru, terlihat indah dengan warnanya yang berbeda-beda.
SUMBER:
Amri
Marzali (2012), “Antropologi dan
Kebijakan Publik” Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group
http://www.metrosiantar.com/2013/sejak-2010-terjadi-351-konflik-sosial-di-indonesia/
Mudji
Sutrisno dan Hendar Putraton (editor) (2005), “Teori-Teori Kebudayaan”, Yogyakarta: Kanisius
Martono
dkk (2003), “Hidup Berbangsa Etika
Multikultural”, Surabaya: Forum Rektor Jawa Timur Universitas Surabaya
George
dan Douglas J. Goodman,........... Nurhadi (2013), “Teori Sosiologi”, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Mata
kuliah “Ilmu Pendidikan”, dosen Dr. Diyah Kumalasi.
[1] Disusun
guna memenuhi tugas akhir semester mata kuliah “Antropologi” dosen pengampu V.
Indah Sri Pinasti, M.Si
[2] Amri
Marzali (2012) “Antropologi dan Kebijakan
Publik” Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group
[3] Amri
Marzali (2012) “Antropologi dan Kebijakan
Publik” Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm 10
[4] http://www.metrosiantar.com/2013/sejak-2010-terjadi-351-konflik-sosial-di-indonesia/
[5] Dikutip
dari mata kuliah Ilmu Pendidikan, dosen Dr. Dyah Kumalasari.