Rabu, 08 Januari 2014

arti perbedaan


PERBEDAAN MEMPERKAYA KHASANAH BUDAYA INDONESIA[1]
Oleh: Risna Afriani (12406241002)
Pendidikan Sejarah, FIS, UNY
Slogan Kebhinekaan dan Pengertian Budaya
Indonesia yang disebut negara multukultural  mememiliki keanekaragaman dalam masyarakatnya. Multikulturalisme memiliki definisi sebagai sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesedian untuk menghormati budaya lain (Daniel T. Sparringa,2003). Terdapat banyak keanekaragaman di dalam masyarakat Indonesia mulai dari,  suku, adat istiadat, rumah adat, bahasa, makanan, kepercayaan, dan masih banyak lagi. Perbedaan  umumnya menjadi suatu kendala  dalam berbangsa, namun lain halnya di Indonesia, di Indonesia perbedaan yang ada ini di anggap sebagai sebuah anugerah dari Tuhan yang wajib di syukuri. Dengan adanya perbedaan etnik dalam masyarakat Indonesia menambah keragaman budaya, keanekaragaman yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau di Indonesia juga memperkaya khasnah budaya yang ada.
Keanekaragaman sebagai sebuah perbedaan menimbulkan sebuah sekat-sekat keterpisahan, di Indonesia keanekaragaman mampu dipersatukan dengan slogan “Bhineka Tunggal Ika” . Bhinneka Tugal Ika  sebagai slogan pemersatu bangsa hendaknya mampu menjadi semangat untuk bekerjasama membangun kebersamaan, serta tekad dan upaya untuk mewujudkan cita-cita bersama. Keanekaragaman dalam kebinnekaan yang ada akan membentuk sebuah budaya, budaya kebersamaan dalam roh ke Indonesiaan. Simak kutipan di bawah  yang merupakan pengertian Budaya:
Budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan masyarakat. Sistem simbol dan epistemologis juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa stratifikasi, gaya hidup, sisialisasi, agama, mobilitas sosial organisasi kenegaraan, dan seluruh perilaku sosial. Dengan demikian juga budaya material yang berupa bangunan, peralatan, dan persenjataan tidak dapat dilepas dari seluruh konfigurasi budaya[2].
            Terjadi kebinekaan dalam pengertian budaya, dua orang antropolog Kroeber dan Kluckhohn berhasil memetakan kebhinekaan pengertian dalam budaya melalui pokok pemahaman tentang budaya. Salah satu definisi budaya yang mereka kemukakan mengacu pada aspek historis, normatif dan psikologis. Definisi historis cenderung melihat budaya sebagai warisan yang dialih-turunkan dari generasi ke generasi. Definisi normatif bisa mengabil dua bentuk yang pertama, budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan yang konkret, kedua, menekankan peran gugus nilai tanpa mengaju pada perilaku. Definisi psikologis cenderung memberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecahan masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan.
            Persetuhan diharapkan mampu menjadi pengikat seuatu perbedaan  dan dapat mengatasi timbulnya persoalan dalam kehidupan pluralistik keindonesiaan. Slogan Bhinneka Tunggal Ika sebagai patokan formal yang lebih tegas dan sebagai landasan yang cukup fundamental, sebagai pemersatu di atas kenyataan perbedaan yang terjadi Indonesia yang berupa perbedaan geografi, suku, sosial-budaya, politik, ideologi, agama dan masih banyak lagi.
Namun, dalam realitanya potensi multikultur yang sesungguhnya dapat mengayakan perbendaharaan budaya kita justru dipaksa homogen, padahal dengan Bhinneka Tuggal Ika pada lambang negara Garuda Pancasila tersebut scara ideal-normatif berarti kehidupan keindonesian yang sangat plural sudah diatur oleh suatu etik multukultur formal dalam rangka hidup bersama secara damai dan saling asah-asih-asuh. Kini hal tersebut diperkuat lagi sebagaimana tertera dalam pasal 32 (1) Undang-Udang Dasar 1945 yang telah diamandemen pada tahun 2003 silam: Negara memajukan kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya (I Gusti Ngurah Bagus, Universitas Udayana, 2003).
Konflik Etnik Akibat Perbedaan dalam Masyarakat Indonesia
Tak jarang adanya keanekaragaman menyebabkan terjadinya konflik di dalam masyrakat, dalam ilmu antropologi biasa disebut dengan  Disosiatif. Disosiatif timbul dalam suatu interaksi di masyarakat yang cenderung negatif, karena interaksi yang disosiatif ini dapat menyebakan adanya konflik, persaingan, pertentangan, pransangka dan diskriminasi. Menurut Karl Marx tiada yang abadi di dunia ini selain konflik, sejarah kehidupan manusia dari zaman dulu sampai sekarang merupakan konflik antar golongan. Begitupun konflik yang ada di Indonesia, Konflik antar etnik yang ada di Indonesia memanglah sudah lumprah terjadi, mengingat Indonesia sendiri merupakan negara yang beragam dalam masyarakatnya.
Antara tahun 1997-2002 di indonesia pernah mengalami keterpurukan dalam sebuah krisi multidimensi, saat itu banyak terjadi peristiwa kerusuhan di sebagian wilayah indonesia, mulai dari kerusuhan yang terjadi di Jakarta (Mei 1998), konflik antar suku Madura dan Dayak di Kalimatan (1999-2000), konflik antara penganut agama di Poso dan Maluku (1999-2002)[3]. Kerusuhan masal di seantero Indonesia, melunturkan selogan “Bhinneka Tunggal Ika” yang selama ini menjadi selogan pemersatu bangsa.
Bahkan di umur Indonesia yang menginjak 68 tahun setelah merdeka, masalah tentang perbedaan yang memiju konflik masih sering terjadi. Indonesia sejauh ini masih rawan terjadi konflik, bahkan konflik yang terjadi di tahun 2013 di perkirakan akan berlanjut hingga tahun 2014 mendatang. Karena, dalam pemecahan konflik yang ada pemerintah belum mampu menyelesaikannya dengan tuntas. Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf Aljufri mengatakan, permasalahan politik seperti pemekaran wilayah, kesetaraan, pemilihan kepala daerah serta ketidakadilan hukum menjadi penyebab terjadinya konflik saat ini (sindonew, 2 September 2013, 23:04 WIB)
Selain itu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menyatakan, dalam tiga tahun terakhir terjadi peningkatan eskalasi konflik sosial di tengah masyarakat. Konflik terjadi akibat benturan dari berbagai kepentingan yang dilakukan antar kelompok masyarakat. Tercatat  pada tahun 2010 terjadi 93 peristiwa konflik. Sementara pada tahun 2011 terjadi 77 peristiwa dan 2012 terjadi 128 peristiwa. Di tahun 2013 hingga awal September, Kemendagri mencatat telah 53 peristiwa konflik,  konflik yang terjadi dari tahun 2010 hingga September 2013 ada yang bernuansa SARA, bentrokan warga dengan organisasi kemasyarakatan, aksi kekerasan unjuk rasa menolak kenaikan BBM, bentrokan antar massa terkait sengketa pertanahan, dan masih banyak lagi[4].
Melihat berbagai konflik yang banyak terjadi di Indonesia akhirnya membuat kita bertanya benarkah slogan kebhinnekaan sudah mampu menjadi alat pemersatu bangsa? Selain itu apakah dengan adanya kemajemukan dalam masyarakat Indonesia menjadi pemicu terjadinnya sebuah konflik?, hal itu sepertinnya belum dapat kita jawab “ya” melihat masih banyak juga masyarakat yang berbeda etnik ataupun berbeda dalam hal lainnya, masih dapat hidup berdampingan selaras dan damai.
Dari Sabang sampai Merauke, Berjajarnya pulau-pulau, Sambung menyambung menjadi satu Itulah Indonesia, Indonesia tanah air ku, Aku berjanji pada mu, Menjunjung tanah air ku tanah air ku Indonesia.
Ingatkah dengan lagu nasional kita di atas? Lagu itu memberikan semangat kepada kita walaupun kita berbeda pulau namun tetap sambung menyambung menjadi satu, menjadi satu dalam tanah air Indonesia. Mungkin lagu di atas mampu memberi rasa kebanggaan tersendiri bagi kita sebagai mahluk Indonesia, sehingga kita bisa menghormati segala perbedaan yang kita miliki dalam hidup bermasyarakat, agar perbedaan itu tidak menjadi konflik-konflik pemecah persatuan seperti yang terjadi di atas
Indahnya Perbedaan (Kehidupan di dalam Kelas dan Pendidikan Multikultural)
            Perbedaan memperkaya khasanah budaya Indonesia, Indonesia semakin kaya akan budaya dengan adanya keanekaragaman, yang memberi ciri khas tersendiri terhadap Indonesia dengan masyarakatnya multikultural. Masyarakat multikultural dapat  di lihat dalam kehidupan kampus, dikampus UNY misalnya, terdapat mahasiswa dari berbagai pulau dan suku bangsa di Indonesia, ada yang dari Ambon, Maluku, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Papua, dan masih banyak lagi. Masyarakat dari berbagai wilayah ini memiliki keragaman suku (etnis), perbedaan agama, juga budayanya, namun  mereka dapat hidup berdampingan selaras di dalam kampus UNY karena rasa keindonesiaan yang mereka miliki.
Kahidupan di dalam kelas juga merupakan cerminan masyarakat multikultural dalam lingkup yang lebih kecil. Didalam kelas Pendidikan Sejarah A 2012 misalnnya, kelas ini mahasiswanya dari berbagai wilayah di Indonesia dengan etnik yang berbeda, agama, serta logat (bahasa) mereka yang berbeda pula. Perbedaan memang telah menjadi ciri khas dalam kehidupan bersama sebangsa, perbedaan dari mahasiswa yang ada di kelas tadi malahan akan menciptkan suasana kelas  yang semakin hidup. Sebagai arena belajar, kehidupan kelas di harapkan mampu mengembangkan toleransi dan mau menerima orang lain (kelompok budaya), sehingga tujuan menciptakan manusia yang  dapat menghargai perbedaan pun akan mudah terwujud.
Masyarakat multikultural Indonesia di harapkan mampu menghargai perbedaan, menegakan nilai demokrasi, serta memiliki rasa kadilan dan kemanusiaan. Namun, dalam mewujudkan harapan tadi perlu adanya persiapan dalam menciptakan “Generasi multi” dengan melalui sebuah pendidikan, atau yang biasa di sebut dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural ini dirasa penting mengingat masih banyaknya konflik yang terjadi di antara etnik di Indonesia, selain itu perbedaan dalam hal kepercayaan juga masih menjadi isu kursial penyebab konflik-konflik di Indonesia.
Dalam upaya mengimplementasikan Pendidikan Multikultural di dalam masyarakat Indonesia tentu ada tantangan tersendiri, tantangan dari adanya perbedaan agama, suku bangsa dan tradisi yang di miliki masyarakat multikultural Indonesia. Maka dari itu pendidikan multikultural haruslah bersifat normatif, pendidikan multikultural yang  bersifat normatif  ini penting sebagai petunjuk tentang berbagai kepentingan yang membimbing pada pengakuan yang lebih tinggi mengenai kebangsaan dan identitas kelompok yang berbeda di dalam masyarakat.[5]
Akhir kata, bahwa keanekaragamaan yang di miliki Indonesia merupakan sebuah anugerah dari Tuhan yang Maha esa, yang patut kita syukuri. Jangan jadikan perbedaan sebagai pembatas kita untuk bersatu dalam berbangsa dan bertanah air, dengan adanya perbedaan malahan akan memperkaya khasanah budaya di Indonesia sendiri. Namun, tidak dapat di pungkiri jika perbedaan yang ada sering kali menyebabkan sebuah konflik, tetapi kita perlu ingat bahwa kita memili slogan “Bhinneka Tuggal Ika” walau beda tetap satu jua. Perlu di sadari bahwa kita semakin terlihat indah dalam perbedaan itu, seperti halnya pelangi di langit biru, terlihat indah dengan warnanya yang berbeda-beda.
 


SUMBER:
Amri Marzali (2012), “Antropologi dan Kebijakan Publik” Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group
http://www.metrosiantar.com/2013/sejak-2010-terjadi-351-konflik-sosial-di-indonesia/
Mudji Sutrisno dan Hendar Putraton (editor) (2005), “Teori-Teori Kebudayaan”, Yogyakarta: Kanisius
Martono dkk (2003), “Hidup Berbangsa Etika Multikultural”, Surabaya: Forum Rektor Jawa Timur Universitas Surabaya
George dan Douglas J. Goodman,........... Nurhadi (2013), “Teori Sosiologi”, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Mata kuliah “Ilmu Pendidikan”, dosen Dr. Diyah Kumalasi.










[1] Disusun guna memenuhi tugas akhir semester mata kuliah “Antropologi” dosen pengampu V. Indah Sri Pinasti, M.Si
[2] Amri Marzali (2012) “Antropologi dan Kebijakan Publik” Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group
[3] Amri Marzali (2012) “Antropologi dan Kebijakan Publik” Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm 10
[4] http://www.metrosiantar.com/2013/sejak-2010-terjadi-351-konflik-sosial-di-indonesia/
[5] Dikutip dari mata kuliah Ilmu Pendidikan, dosen Dr. Dyah Kumalasari.