Makam Islam Imogiri: Pencerminan Kultur dan
Struktur Khas Kebudayaan Jawa Peninggalan Sultan Agung
oleh:
Risna Afriani (12406241002)
Pendidikan
Sejarah
Makam dalam bahasa Indonesia artinya kubur. Kubur
merupakan sebuah lubang di tanah untuk menguburkan jasad seseorang yang sudah
meninggal. Istilah makam bersal dari Bahasa Arab yaitu maqaam yang berarti
posisi, situasi, pangkat, kedudukan, atau tempat berdiri. Istilah kubur
merupakan serapan dari Bahasa Arab yaitu Qabr dan dalam Bahasa Jawa dikenal
kata pasarean untuk menyebut pemakaman yang bersal dari kata sare yang berati
tidur atau beradu. Penyebutan lain untuk pemakaman adalah astana yang berarti
istana yaitu sebutan bagi kubur para raja (Prawiroatmodjo, 1994).[1]
Makam Imogiri merupakan sebuah
komplek pemakaman islam di jawa yang terbilang unik, letaknya yang berada di
atas bukit membuatnya berbeda dengan kebanyakan makam di Indonesia. Selain
letaknya yang unik berada di atas bukit, Makam Imogiri juga memiliki sejarah
yang mistik tentang riwayat pembuatnya yaitu Sultan Agung. Seorang Raja Islam
yang di ceritakan menjalin cinta dengan penguasa laut kidul, Nyi Rara Kidul.
Sultan Agung ini merupakan raja besar di jawa yang mampu membawa kerajaan
Mataram pada masa kejayaannya, beliau ingin menguasai seluruh Nusantara di
bawah kerajaan Mataram Islam. Sultan Agung adalah raja ketiga kerajaan Mataram
yang berhasil menjalin persahabatan di berbagai wilayah Nusantara dan sampai ke
negara India, juga ke tanah suci Mekah pada saat itu.
Sultan agung menjabat sebagai raja
di kerajaan Mataram setelah adiknya yang bernama Martapura meletakan
jabatannya, dan menyerahkan tahta kerajaan kepadanya. Ayahnya Panembahan Sedo
Ing Krapyak (Mas Jolan) hanya mampu
menguasai daerah-daerah taklukan raja terdahulu saja dan pada saat Sultan Agung
memerintah, dialah yang mampu menguasai seluruh Jawa. Selain beliau menjadi
panglima yang ulung dan raja yang besar, Sultan Agung juga merupakan seorang
muslim yang taat beragama, setiap hari Jum’at bersama rakyatnya beliau
senantiasa melakukan salat Jum’at. Guna memperkokoh kedudukannya sebagai
pemimpin Islam, sultan agung mengirimkan utusannya ke mekkah yang dalam tahun
1641 kembali ke Mataram dengan membawa gelar “Sultan” baginya dan ahli-ahli
agama untuk menjadi penasehat baginya di Istana. Gelar mekkah itu lengkapnya
adalah: Sutan ‘Abdul Muhammad Maulana Matarami.[2]
Sultan Agung membuat kompleks pemakaman
Imogiri untuk para raja Mataram dan keturunannya, Pemakaman yang berada di atas
Bukit Merak desa Pajimatan, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta, memiliki unsur Khas kebudayaan Jawa yang terlihat dari
kultur dan struktur kompleks makamnya.
Setelah mendapat gelar ‘Sultan’ dari
pimpinan Ka’bah di Mekkah, konon Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat beliaupun
membangun Astana Imogiri. Diceritakan bahwa Sultan agung yang sakti setiap
Jum’at sholat di Mekkah, dan akhirnya beliau merasa tertarik untuk di makamkan
di Mekkah ketika saatnya tiba nanti. Namun karena berbagai alasan keinginan
tersebut ditolak dengan halus oleh Pejabat Agama di Mekkah, sebagai gantinya ia
memperoleh segegam pasir, dan sarankan untuk melempar pasir tersebut ke tanah
jawa dimana pasir itu jatuh maka di tempat itulah yang akan menjadi makam
Sultan Agung. Pasir tersebut jatuh di Giriloyo, tetapi di sana Pamannya, Gusti
Pangeran Juminah (Sultan Cirebon) telah menunggu dan meminta untuk di makamkan
di tempat itu. Sultan Agung Marah dan meminta Sultan Cirebon untuk segera
meninggal, maka wafatlah ia. Selanjutnya pasir tersebut dilemparkan kembali
oleh Sultan Agunga dan jatuh di Pegunungan Merak yang kini menjadi makam
Imogiri.[3]
Kompleks Pemakaman Imogiri mencerminkan kultur dan
struktur khas kebudayaan Jawa yang terlihat dari adanya sesaji pada makam
Sultan Agung, adanya sesaji tersebut di peruntukan untuk para peziarah nantinya
sebagai tanda bakti orang Jawa kepada leluhurnya. Kebudayaan Jawa kuno yang
tercermin pada Kompleks Pemakaman Imogiri mendapat akulturasi dan difusi dari
interaksi antara kebudayaan yang berbeda dalam waktu yang lama, seperti
kebudayaan Islam dan Hindu-budha. Kompleks makam Imogiri dikelilingi tembok
bata yang tinggi dan terdiri dari empat halama, untuk memasuki halaman pertama
terlebih dahulu melewati gapura candi bentar (supit urang) dan di halaman ini
ada kelir, bangsal, padasan (tempayan), dan makam[4].
Gapura candi bentar yang terdapat pada kompleks Pemakaman Imogiri ini terbentuk
dari susunan batu bata tanpa semen yang menyerupai seperti gaya dan tipe
bangunan candi pada kebudayaan Hiddu-Budha.
Selain itu, kebudayaan Islam dapat
dilihat dari adanya nisan pada makam-makam di kompleks pemakaman Imogiri.
Penanda kubur di Indonesia disebut sebagai nisan, nisan sebagai salah satu
komponen makam Islam merupakan ciri dan
bentuk kebudayaan yang dibawa bersamaan dengan terjadinya proses Islamisasi di
kepulauan Nusantara[5]. Nisan
tertua yang ditemukan di Pulau Jawa terdapat di Leran, Gresik, nisan itu
bertuliskan bahwa yang meninggal adalah Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Nisan yang berinskripsikan Aksara Jawa Kuno dan
Arab juga telah di temukan di Trowulan, Mojokerto. Hal ini menujukan bahwa
kebudayaan Islam juga terdapat pada makam-makam kuno di Indonesia, terutama
pada kompleks Pemakaman Imogiri, karena memang nisan itu merupakan salah satu
perwujutan seni Islam.
Kompleks Pemakaman Imogiri memiliki
pola tata ruang tersendiri dan beda dengan Kompleks Pemakanan lainnya. Di dalam
Kompleks Pemakanan Imogiri memiliki benteng yang cukup tinggi, ada empat
halaman yang disana terdapat: kelir, bangsal, padasan, dan makam itu sendiri.
Pada setiap halaman terdapat semacam pintu penghubung yang berupa gapura
paduraksa, kelir yang berada di depan gapura dan Cungkup. Untuk lokasi makam
Sultan Agung sendiri berada di pagian dalam, karena di anggap bagian dalamlah
yang memiliki tingkat kesakralan paling tinggi, dan untuk makam para pejabat
kerajaan berada di luar makam Sultan Agung.
Kompleks Pemakaman Imogiri merupakan
warisan peninggalan sejarah Kerajaan Mataram pada masa Sultan Agung yang
seyogyanya patut kita jaga dan lestarikan keberadaannya. Dari Kompleks Pemakan
Imogiri memperlihatkan bahwa akulturasi antara kebudayaan lokak (kebudayaan
Jawa), Hiddu-Budha dan Islam, memang telah terjadi sebagai suatu keunikan untuk
sebuah peninggalan Sejarah masa lalu. Untuk legenda pembuatan makam yang
terbilang tidak masuk akal, hendaknya di jadikan sebagai pembelajaran sejarah
yang mengajarkan kita untuk bersikap
semakin bijak dalam menilai sebuah sejarah masa lalu.
Sumber:
Dr.
Purwadi,Hidup, Mistik, dan Kematian
Sultan Agung,Yogyakarta:Tugu, 2005
Soekmono,Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, Yogyakarta:Kanisius,
1973
V.
Wiratna Sujarweni,Yogyakarta Episode
Jejak-Jejak Mataram Islam, Yogyakarta:Global Mendia Informasi, 2012
[1] Purwadi,hidup, Mistik, dan Kematian Sultan Agung,hlm
221
[2] Soekmono,Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3,hlm
63
[3] V.
Wiratna Sujarweni,Yogyakarta Episode
Jejak-Jejak Mataram Islam,hlm 34
[4] Purwadi, hidup, Mistik, dan Kematian Sultan Agung,hlm
228
[5] Purwadi, hidup, Mistik, dan Kematian Sultan Agung,hlm
225
Tidak ada komentar:
Posting Komentar