Minggu, 03 November 2013

goresan tinta usang


Makam Islam Imogiri: Pencerminan Kultur dan Struktur Khas Kebudayaan Jawa Peninggalan Sultan Agung
oleh: Risna Afriani (12406241002)
Pendidikan Sejarah

Makam dalam bahasa Indonesia artinya kubur. Kubur merupakan sebuah lubang di tanah untuk menguburkan jasad seseorang yang sudah meninggal. Istilah makam bersal dari Bahasa Arab yaitu maqaam yang berarti posisi, situasi, pangkat, kedudukan, atau tempat berdiri. Istilah kubur merupakan serapan dari Bahasa Arab yaitu Qabr dan dalam Bahasa Jawa dikenal kata pasarean untuk menyebut pemakaman yang bersal dari kata sare yang berati tidur atau beradu. Penyebutan lain untuk pemakaman adalah astana yang berarti istana yaitu sebutan bagi kubur para raja (Prawiroatmodjo, 1994).[1]
             Makam Imogiri merupakan sebuah komplek pemakaman islam di jawa yang terbilang unik, letaknya yang berada di atas bukit membuatnya berbeda dengan kebanyakan makam di Indonesia. Selain letaknya yang unik berada di atas bukit, Makam Imogiri juga memiliki sejarah yang mistik tentang riwayat pembuatnya yaitu Sultan Agung. Seorang Raja Islam yang di ceritakan menjalin cinta dengan penguasa laut kidul, Nyi Rara Kidul. Sultan Agung ini merupakan raja besar di jawa yang mampu membawa kerajaan Mataram pada masa kejayaannya, beliau ingin menguasai seluruh Nusantara di bawah kerajaan Mataram Islam. Sultan Agung adalah raja ketiga kerajaan Mataram yang berhasil menjalin persahabatan di berbagai wilayah Nusantara dan sampai ke negara India, juga ke tanah suci Mekah pada saat itu.
             Sultan agung menjabat sebagai raja di kerajaan Mataram setelah adiknya yang bernama Martapura meletakan jabatannya, dan menyerahkan tahta kerajaan kepadanya. Ayahnya Panembahan Sedo Ing  Krapyak (Mas Jolan) hanya mampu menguasai daerah-daerah taklukan raja terdahulu saja dan pada saat Sultan Agung memerintah, dialah yang mampu menguasai seluruh Jawa. Selain beliau menjadi panglima yang ulung dan raja yang besar, Sultan Agung juga merupakan seorang muslim yang taat beragama, setiap hari Jum’at bersama rakyatnya beliau senantiasa melakukan salat Jum’at. Guna memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin Islam, sultan agung mengirimkan utusannya ke mekkah yang dalam tahun 1641 kembali ke Mataram dengan membawa gelar “Sultan” baginya dan ahli-ahli agama untuk menjadi penasehat baginya di Istana. Gelar mekkah itu lengkapnya adalah: Sutan ‘Abdul Muhammad Maulana Matarami.[2]
          Sultan Agung membuat kompleks pemakaman Imogiri untuk para raja Mataram dan keturunannya, Pemakaman yang berada di atas Bukit Merak desa Pajimatan, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki unsur Khas kebudayaan Jawa yang terlihat dari kultur dan struktur kompleks makamnya.
         Setelah mendapat gelar ‘Sultan’ dari pimpinan Ka’bah di Mekkah, konon Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat beliaupun membangun Astana Imogiri. Diceritakan bahwa Sultan agung yang sakti setiap Jum’at sholat di Mekkah, dan akhirnya beliau merasa tertarik untuk di makamkan di Mekkah ketika saatnya tiba nanti. Namun karena berbagai alasan keinginan tersebut ditolak dengan halus oleh Pejabat Agama di Mekkah, sebagai gantinya ia memperoleh segegam pasir, dan sarankan untuk melempar pasir tersebut ke tanah jawa dimana pasir itu jatuh maka di tempat itulah yang akan menjadi makam Sultan Agung. Pasir tersebut jatuh di Giriloyo, tetapi di sana Pamannya, Gusti Pangeran Juminah (Sultan Cirebon) telah menunggu dan meminta untuk di makamkan di tempat itu. Sultan Agung Marah dan meminta Sultan Cirebon untuk segera meninggal, maka wafatlah ia. Selanjutnya pasir tersebut dilemparkan kembali oleh Sultan Agunga dan jatuh di Pegunungan Merak yang kini menjadi makam Imogiri.[3]
         Kompleks  Pemakaman Imogiri mencerminkan kultur dan struktur khas kebudayaan Jawa yang terlihat dari adanya sesaji pada makam Sultan Agung, adanya sesaji tersebut di peruntukan untuk para peziarah nantinya sebagai tanda bakti orang Jawa kepada leluhurnya. Kebudayaan Jawa kuno yang tercermin pada Kompleks Pemakaman Imogiri mendapat akulturasi dan difusi dari interaksi antara kebudayaan yang berbeda dalam waktu yang lama, seperti kebudayaan Islam dan Hindu-budha. Kompleks makam Imogiri dikelilingi tembok bata yang tinggi dan terdiri dari empat halama, untuk memasuki halaman pertama terlebih dahulu melewati gapura candi bentar (supit urang) dan di halaman ini ada kelir, bangsal, padasan (tempayan), dan makam[4]. Gapura candi bentar yang terdapat pada kompleks Pemakaman Imogiri ini terbentuk dari susunan batu bata tanpa semen yang menyerupai seperti gaya dan tipe bangunan candi pada kebudayaan Hiddu-Budha.
         Selain itu, kebudayaan Islam dapat dilihat dari adanya nisan pada makam-makam di kompleks pemakaman Imogiri. Penanda kubur di Indonesia disebut sebagai nisan, nisan sebagai salah satu komponen makam  Islam merupakan ciri dan bentuk kebudayaan yang dibawa bersamaan dengan terjadinya proses Islamisasi di kepulauan Nusantara[5]. Nisan tertua yang ditemukan di Pulau Jawa terdapat di Leran, Gresik, nisan itu bertuliskan bahwa yang meninggal adalah Fatimah binti Maimun bin Hibatullah.  Nisan yang berinskripsikan Aksara Jawa Kuno dan Arab juga telah di temukan di Trowulan, Mojokerto. Hal ini menujukan bahwa kebudayaan Islam juga terdapat pada makam-makam kuno di Indonesia, terutama pada kompleks Pemakaman Imogiri, karena memang nisan itu merupakan salah satu perwujutan seni Islam.
         Kompleks Pemakaman Imogiri memiliki pola tata ruang tersendiri dan beda dengan Kompleks Pemakanan lainnya. Di dalam Kompleks Pemakanan Imogiri memiliki benteng yang cukup tinggi, ada empat halaman yang disana terdapat: kelir, bangsal, padasan, dan makam itu sendiri. Pada setiap halaman terdapat semacam pintu penghubung yang berupa gapura paduraksa, kelir yang berada di depan gapura dan Cungkup. Untuk lokasi makam Sultan Agung sendiri berada di pagian dalam, karena di anggap bagian dalamlah yang memiliki tingkat kesakralan paling tinggi, dan untuk makam para pejabat kerajaan berada di luar makam Sultan Agung.
         Kompleks Pemakaman Imogiri merupakan warisan peninggalan sejarah Kerajaan Mataram pada masa Sultan Agung yang seyogyanya patut kita jaga dan lestarikan keberadaannya. Dari Kompleks Pemakan Imogiri memperlihatkan bahwa akulturasi antara kebudayaan lokak (kebudayaan Jawa), Hiddu-Budha dan Islam, memang telah terjadi sebagai suatu keunikan untuk sebuah peninggalan Sejarah masa lalu. Untuk legenda pembuatan makam yang terbilang tidak masuk akal, hendaknya di jadikan sebagai pembelajaran sejarah yang mengajarkan kita  untuk bersikap semakin bijak dalam menilai sebuah sejarah masa lalu.

Sumber:
Dr. Purwadi,Hidup, Mistik, dan Kematian Sultan Agung,Yogyakarta:Tugu, 2005
Soekmono,Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, Yogyakarta:Kanisius, 1973
V. Wiratna Sujarweni,Yogyakarta Episode Jejak-Jejak Mataram Islam, Yogyakarta:Global Mendia Informasi, 2012


                                                                                                                                                                                                       




































[1] Purwadi,hidup, Mistik, dan Kematian Sultan Agung,hlm 221

[2] Soekmono,Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3,hlm 63
[3] V. Wiratna Sujarweni,Yogyakarta Episode Jejak-Jejak Mataram Islam,hlm 34
[4] Purwadi, hidup, Mistik, dan Kematian Sultan Agung,hlm 228
[5] Purwadi, hidup, Mistik, dan Kematian Sultan Agung,hlm 225

Tidak ada komentar:

Posting Komentar